Main Character Syndrome: Antara Ekspresi Diri dan Ilusi Digital
Fenomena ini muncul sebagai respons terhadap tekanan sosial dan kebutuhan eksistensial—menjadi “karakter utama” dianggap sebagai bentuk pemberdayaan diri,cara untuk merebut kendali atas narasi hidup masing-masing. Namun, di balik semangat ekspresi tersebut, tersimpan paradoks yang mencemaskan: ketika semua orang berlomba menjadi pusat cerita, dimensi kolektif dalam kehidupan nyata berisiko memudar. Empati menjadi langka, pengalaman orang lain kehilangan makna, dan kebahagiaan berubah menjadi tontonan.
Saat dunia dijalani demi konten, otentisitas pun bergeser menjadi pertunjukan. Bahkan kesedihan dikurasi agar tampak puitis dan layak viral. Algoritma media sosial dan budaya selebritas instan memperparah kecenderungan ini, menjadikan "authenticity" sebagai komoditas, dan estetika hiperrealitas sebagai standar baru.
Meski demikian, tidak semua aspek dari tren ini bersifat negatif. Terdapat sisi positif berupa tumbuhnya kesadaran emosional, kreativitas, serta semangat berkarya—dari tulisan, video, hingga seni digital—yang lahir dari pengalaman pribadi yang jujur.
Oleh karena itu, keluarga, sekolah, dan lingkungan sosial perlu mengedepankan literasi emosional dan digital secara seimbang. Tujuannya bukan hanya agar generasi muda mampu mengekspresikan diri, tetapi juga agar mereka tidak terjebak dalam ilusi layar kecil yang penuh sandiwara.
Menjadi karakter utama tidak berarti menjadi pusat dunia. Ia bisa berarti menjadi pribadi yang berani hadir, merespons realitas, dan peduli terhadap cerita orang lain. Dengan begitu, Main Character Syndrome tak sekadar menjadi gejala zaman, melainkan peluang untuk memahami diri sekaligus membangun hubungan yang lebih manusiawi di era digital ini.
Media sosial Mahawarta:
Instragram: @mahawartapers
Tiktok: @mahawarta
X/Twitter:@mahawartapers
YouTube: Mahawarta
Komentar
Posting Komentar